Kisah

Selasa, 12 April 2016

Hari Ketika Aku Harus HSG

"Yank, bangun. Katanya mau ke rumah sakit. Hari ini jadi HSG kan?," suamiku membangunkanku dari tidur pagi yang bersambung.

"Aku ga jadi HSG aja apa ya yank...," kataku meragu.

"Lho gimana, kan udah bikin janji sama rumah sakit. Lagian kalo ketauan masalahnya apa kan kita bisa tau penanganan lebih lanjutnya nanti gimana. Masa udah sampe tahap ini mau mundur," bujuknya.

Aku diam, gamang. Dalam hati sangat tidak ingin melakukan ini, apalagi setelah membaca beberapa cerita pasien HSG, dengan cerita-cerita yang aduhay seramnya. Aku ngga bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya yang katanya 10x lebih hebat dari nyeri haid.

"Ayo, mandi..." Kali ini suamiku menyuruhku sambil menyodorkan handuk.
What will be...

Sampai di rumah sakit, setelah registrasi dan membayar biaya HSG yang tidak sedikit (aku bisikin angkanya sebagai referensi ya, 1.261.000 wow lah), aku masuk ke ruang administrasi radiologi. Kalau tidak pakai lipstick aku pasti pucat. Rasa takutnya luar biasa, dan inginnya saat HSG aku didampingi suami. Tapi ternyata, suami tidak boleh masuk, hanya ada dokter dan perawat yang akan melakukan tindakan HSG yang boleh menemaniku.

Aku makin enggan, saat diberitahukan oleh perawat untuk berganti pakaian, linen rs, semacam handuk kimono tp ciri khas rumah sakit gitu, warnanya biru muda. Yng sedikit membesarkan hatiku adalah ketika aku bertemu seorang wanita yang juga akan HSG, tetapi dia datang sendiri, tidak didampingi suaminya. Hal itulah yang membesarkan hatiku bahwa suamiku selalu berusaha mendampingi dalam setiap rawat jalanku.

Masuk ke ruang radiologi, ruangan yang dingin, dan bikin deg-degan. Tempat berbaringnya juga dingin, tanpa kasur. Aku diperintahkan untuk berbaring, rahimku diposisikan pas dengan alat foto. Kemudian peralatan datang, segala macam seperti peralatan operasi menghias meja. Aku maij dag dig dug...!

"Halo, ibu Wiwik. Bisa sebutkan tanggal lahirnya" mba suster ramah menyapaku. Aku sebutkan tanggal lahir lengkap dengan bulan dan tahun. "OK santai saja ya bu , saya panggilkan dokternya. Kita siap tindakan HSG ya bu." Ucapnya lagi sambil tersenyum. Aku juga tersenyum, kaku.

"Ibu Wiwik, sudah sarapan ya tadi?" Kata dokter menyapaku.

"Iya dok sudah. Sekarang?" Tanyaku menegaskan.

"Iya sekarang. Bokongnya diposisikan di pinggir ya bu, kita pasang dulu cateternya. Pergelangan kakinya dipengang supaya ga goyang ya bu. Santai... Taruk nafas..." Sang dokter bersiap siap memulai pemasangan cateter.

"Dok saya ga dibius ya?" Tanya saya tiba-tiba.

"Ngga usah bu, ngga sakit kok" kata dokter sok tau.

"Yuk, tarik nafas, santai. Saya pasang ya...buang nafas.." Kata dokter santai. Tiba tiba ada rasa pegal di dalam vaginaku. Ya, baru saja ujung cateter mendarat cantik di mulut rahim.

"Saya masukkan cairan kontras 8 mili ya bu, ada rasa ngga nyaman sedikit, ditahan ya bu" ucap dokter kali ini. Saya cuma ber mmmmmm saja. Menahan sakit. Nyeri, banget. Kalo ngga ada cateter yang terpasang, mungkin sudah saya tendang ni dokter.

"Wah, cairannya berbalik. Saya ulang ya bu. Tahaaaan..." Katanya lagi. Mmmmmmm... Saya makin kencang mengerang, menahan nyeri yang luar biasa. Ini gilaaaa, ngga pake anastesi. Kejaaaam. Tapi saya ngga bisa nangis, cuma meringis sambil memegang tepi tempat berbaring yang dingin.

"Ibu, ada riwayat mioma atau kista? Tersumbat ini bu yang kiri" kata dokter sambil menyiapkan ampul lain, entah apa.

"Iya dok, ada miom di dekat tuba falopi" jawabku lemas.

"Kita tiup ya bu. Sedikit ngga nyaman tapi tahan ya" katanya.

Loh, ditiup? Diapain? Perjanjiannya kan cuma HSG, kok ada tambahan tiup?

"Sakit dok" saya mulai merengek.

"Gapapa bu, supaya sekalian sakitnya. Daripada nanti tindakan lagi sakir lagi kan. Dobel sakitnya" si dokter sok santai. Aku pasrah...

Dan ketika dokter menyuntikkan cairan apalah namanya ditiup, aku makin kencang mengerang menahan nyeri. Sakitnya lebih terasa berkali-kali lipat dari tindakan yang pertama. Aku sampai gemetar.

"Ok, sudah ngga tersumbat bu, hasilnya bagus ya" ucap dokter girang. Ketika cateternya dilepas, aku tidak merasakan apa-apa. Hanya nyeri hebat yang belum hilang, gemetar, ditambah rasa pusing, dan mau muntah.

Rasa mualnya makin hebat, ditambah nyeri di perut, rasanya mau pingsan. Akhirnya aku muntah juga. Tapi tidak banyak.

Hanya butuh waktu 20 menit aku di ruang tindakan, menjalani HSG dan hidrotubasi (setelah aku googling apa maksudnya ditiup), tapi rasa nyerinya tidak hilang dalam setengah jam, dan dalam waktu setengah jam itulah aku berbaring sampai tidur sesaat menahan nyeri di tempat tidur ruang radiologi, tempat pasien biasanya menunggu tindakan. Dan suamiku yang baik hati menungguiku sampai aku kuat untuk pulang ke rumah.

Menurut curhatan para HSG-ers, ada yang tidak merasa sakit saat HSG, ada yang sakitnya sampai 2 -3 jam kedepan, ada juga yang hanya sakit sedikit tetapi ternyata esok paginya nyeri hebat. Bahkan banyak pasien HSG dengan anestesi merasakan sakit lebih lama. Aku beruntung, sakit dan nyeri hebatnya dirapel saat HSG saja, setelahnya hanya rasa lemas karena menahan sakit. Dan aku bisa menyimpulkan, sakitnya HSG lebih sakit  berpuluh-puluh kali lipat daripada nyeri haid. Luar biasa.

Tapi syukur alhamdulillah, hasil HSG ku memuaskan. Semua tuba berfungsi baik, tidak tersumbat, posisi rahim anteplexi (normal tidak terbalik).

Fertility Treatment After Umroh

Sebelum berangkat umroh, saat aku mengunjungi ginekolog untuk konsultasi penundaan haid, kembali ditemukan myoma/miom sebesar 2,5 cm. Tidak terlalu besar, tetapi masalahnya si centil myom itu bertengger sangat dekat dengan posisi tuba falopi sebelah kiri. Sebulan setelah kepulangan umroh, akhirnya dengan dukungan penuh dari suami, aku mengunjungi ginekolog kembali, di rumah sakit tempat aku berobat sebelumnya, karena berkas rekam medis lengkap ada disana, sekaligus aku tak ingin berganti ganti dokter dulu untuk penanganan hal ini.

Hari Sabtu, tepatnya hari kelima setelah hari pertama haid, aku mengunjungi bu dokter. Sekali lagi aku di usg. Benar, ada myom disana 2,5 cm. Bu dokter menjelaskan padaku bagaimana pengaruh myom yang tumbuh terhadap kehamilan. Kurang lebihnya begini, myoma/kista yang yumbuh di rahim, jika posisinya ditengah rahim, memungkinkn terjadinya keguguran di awal kehamilan. Hal tersebut terjadi karena sel telur yang sudah dibuahi dan hendak menempel erat pada rahim terhalang oleh myoma. Sehingga luruhlah sel telur. Endometrium yang sudah menebal karena siap akan kehamilan pun meluruh. Maka terjadilah haid alias dede nya ngga jadi jadi. Sedangkan untuk case yang aku alami, tumbuhnya myoma dekat dengan tuba falopi kemungkinan menghambat jalur masuknya sperma ke tuba falopi. Seharusnya sperma masuk dan membuahi sel telur, karena terhalang, maka gagallah misi perjuangan sperma. Memang masih ada tuba falopi yang kanan, tetapi dengan adanya myoma akan memperkecil kemungkinan sperma masuk ke kedua tuba. 

Lalu apa solusinya dok? Tanyaku.
"Ibu HSG ya. Supaya kita bisa lihat pakah saluran tuba nya tersumbat atau tidak." Jawab dokternya.

"Kapan dok?" Tanyaku lagi.
"Hari kesembilan setelah haid adalah waktu yang tepat. Jadi, ibu saya jadwalkan HSG hari Rabu ya".

"Disini dok?" Tanyaku lagi, masih bingung apa iti HSG.
"Oh ngga ibu, di radiologi. HSG termasuk tindakan radiologi, nanti dari vagina dipasang cateter ke mulut rahim, kemudian disuntikkan cairan iodum #"?":%#&*! (Saya lupa dokter bilang apa waktu itu ke saya) kita biasa sebut cairan kontras. Ngga sakit, cuma rasa ngga nyaman sedikit kayak mau mens. Cuma sebentar, tindakannya kira-kira cuma 15 menit" kata bu dokter santai.

Bu dokter emang selalu santai. Saya? Saya selalu shock, selalu stress, dan selalu drama menghadapi hal ini. Ada kepanikan yang terlukis di wajah saya, wajar saja karena pakai cateter segala, di mulut rahim lg. Tapi suami saya yang sangat baik hati selalu menentramkan dn menenangkan saya. 

"Tuh, pas banget aku pulang dari luar kota pagi, jadi ga ush ngantor hari rabu. Ayank izin ya sama kantor dateng siang, atau cuti aja kalo takut kenapa-kenapa. Nanti aku temenin HSG nya.." Katanya sambil mengelus kepalaku. Aku sendiri diam, sambil menahan air mata.

Tuhan, mengapa Kau pilih aku untuk menjalani hidup yang seperti ini? Apa karena Kau yakin aku kuat menghadapinya?

Jumat, 08 April 2016

Sepenggal Cerita Pra-Umroh

Bagi umat muslim, siapa yang ngga ingin pergi ke tanah suci? Baik berhaji ataupun umroh. Bermanja dalam sujud-sujud disetiap kesempatan sholat, dan rasanya tak ingin berlama-lama meninggalkan rumah Allah, bahkan berlomba untuk mendapatkan shaf terbaik dan terdekat dengan baitullah. Ya...umroh dan haji memang menyenangkan, semenyenangkan degdegannya hati menghitung hari keberangkatan dari tanah air. Percayalah, beribadah menjadi tamu Allah jauh lebihendebarkan daripada degup manja cinta pertama.
 
Umroh dan berhaji tidak semudah kita bepergian ke luar kota atau negara tetangga. Butuh visa dan buku kuning tanda kita sudah vaksin menginitis. Ditambah untuk para wanita usia produktif, perlu perhitungan tepat untuk bepergian umroh agar saat pelaksanaan ibadah tamu bulanan tiba-tiba datang. Tapi apalah daya, jika jadwal keberangkatan yang ditentukan oleh pihak travel umroh bersamaan dengan jadwal kedatangan si tamu bulanan.

Itulah yang terjadi dengan saya, sang pihak travel mengumumkan keberangkatan pada awal bulan di bulan Februari, tgl 6. Dan tqmu saya yang menggemaskan itu diprediksi datang di tanggal 10, tepat di hari ketika jadwal keberangkatan dari Madinah menuju Makkah untuk pelaksanaan ibadah umroh. Ulur-mengulur waktu, kira-kira tinggal 14 hari lagi keberangkatan. Buku kuning suntik menginitis sudah ditangan, tetapi hati bimbang akan kedatangan tamu tersayang. Halaaah...

Finaly, saya pergi ke dokter di sebuah rumah sakit swasta di daerah Cipondoh Tangerang, dekat rumah tinggal saya. Mengapa saya tidak datang ke dokter langganan saya saat konsultasi masalah myom? Karena antriannya bikin males, dan jadi pengen bawa nasi padang dibungkus demi menunggu antrian sang dokter langganan.

Setelah daftar, ngga lama nunggu, saya bertemu dokter ginekolog yg sudh tua, saya lupa namanya. Saya konsultasi untuk keberangktan umroh, perkiraan tanggal haid, hari pertama haid terakhir, dan kira-kira tindakan apa yang harus dilakukan. Dokter menyarankan USG, saya nurut saja. Ketika di USG tampak gumpalan yang lumayan bikin saya kaget. Myom, muncul lqgi, dengan diameter 2,5 cm. Agak shock saya, tapi tidak seperti first shocking ketika dokter mendiagnosa myom dan cyst.

Sang dokter hanya menggumam, tidak jelas, menghitung-hitung sendiri, tanya sendiri jawab sendiri, hingga membuat saya dan suami saling tatap mengulum senyum. Akhirnya keputusan sang dokter adalah memberikan primolut sebagai obat penunda haid. Diresepkan disana, obat harus diminum 2 hari sebelum berangkat, 3x sehari. Setelah hari ketiga, kurangi dosisnya menjadi 2x sehari. Bila timbul flek, naikkan dosisnya menjadi 3x sehari.

Saya bertanya "apa ini akan berhasil dok?". Tau apa yang dokter lakukan? Dia hanya menatap saya, dan saya nyengir ngga enak.

Setelah mengucapkan terima kasih, saya dan suami menuju kasir untuk membayar administrasi dan obat. Harganya lumayan, lumayan bikin nyengir untuk ukuran gaji karyawan. Tapi lagi-lagi Alhamdulillah biaya berobat bisa direimburs ke kantor suami. He...

Seminggu sebelum keberangkatan, diadakan manasik umroh dari travel penyelenggara. Sedikit menjelaskan rukun umroh yang ternyata bisa di lakukan dalam waktu 4 jam jika kita miqat diatas pesawat, atau sekitar 8 jam sampai selesai ibadah umroh jika kita miqat menempuh jalur darat. Ya, umroh bisa dilakukan sesingkat itu, yang lama adalah bermalam di Madinah, dan bermalam di Makkah. Tapi sungguh tidak rugi kita berlama-lama di Madinah dan di Makkah, karena terdapat keutamaan pahalanya digandakan 1000 kali saat sholat di masjid nabawi dan 100.000 kali saat sholat dekat baitullah (masjidil haram). Siapa yang tidak ingin berlama-lama dan bermesra-mesra mengadu, merintih, meminta, dan berdoa kepada sang Pencipta, apalagi jika suasananya sangat Islami.

Sehari, dua hari, tiga hari...saya menghitung. Hingga akhirnya hari keberangkatan itu tiba. Hari dimana saya tidak benar-benar percaya bahwa Allah memilih saya menjadi tamuNya, tamu kehormatanNya, untuk lebih dekat padaNya. Sungguh suatu nikmat yang tak terbayangkan...

Dan sepanjang jalan, saya tertidur, terbangun, makan, dan tertidur lagi...
Jangan mengharapkan hal yang spesial saudara-saudara, sepanjang perjalangan waktu terasa sore terus, karena pesawatnya seolah mengejar matahari yang sejenak lelah dan ingin terlelap terbalut malam...